Meski ini arsip lama, April 2015, bukan berarti isi dari artikel ini tidak kekinian (meminjam istilah remaja saat ini). Arsip yg dimaksud adalah wawancara Wimar Witoelar dengan Dr Eko Teguh Paripurno (Alumni Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta Angkatan 1981) tentang Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat yang sudah diunggah pada laman Prespektif Baru.
Barangkali banyak orang yang tidak tahu, bahwa ada orang yang memperhatikan dampak bencana alam dan orang itu bukan dari Pemerintah. Bisakah anda ceritakan lebih spesifik kapan anda mulai tertarik dalam bidang ini dan bencana mana yang anda ingat pernah terlibat pertama kali?
Sebenarnya dimulai ketika Gunung Merapi meletus tahun 1994 dan kebetulan saya dan beberapa kerabat serta teman sebelumnya pernah camping dan bermalam di sana...
Jadi seperti kelompok pencinta alam?
Ya, awalnya dimulai dari kelompok pencipta alam pada tahun 1980-an kemudian kegiatannya jadi lebih berdinamika. Saat itu saya berpikir kenapa mesti ada korban, kenapa mesti ada orang yang menjadi sakit, kenapa tidak dikelola dengan baik. Kemudian timbul gagasan untuk mengajak kawan-kawan yang ada di kawasan rawan bencana dan dimulai dari peristiwa meletusnya Gunung Merapi.
Setelah itu kami berputar-putar di kawasan rawan banjir di Jawa Tengah Utara, kemudian Gunung Kaba di Sumatera, sekarang di Egon Nusa Tenggara dan besok akan ke Ternate untuk Gunung Gamalama juga Aceh. Karena bencana dan masalahnya besar, jadi kami mulai pelan-pelan untuk mendorong manajemen bencana berbasis masyarakat ini. Alur ini belum banyak disukai orang. Kami ingin memberikan perspektif pada masyarakat bahwa manajemen bencana berbasis masyarakat bukan ketika bencana baru kita ribut, tetapi ketika belum terjadi apa-apa kita sudah menyiapkan orang, agar ketika terjadi ancaman itu, mereka siap.
Jawaban itu cocok sekali dengan pertanyaan saya. Nah masalahnya untuk beberapa kasus kita tidak bisa menduga bahwa bencana akan terjadi, sehingga ketika bencana terjadi kita tidak bisa ada di sana. Berapa banyak bencana yang bisa diduga sebelumnya dan berapa yang datang mendadak?
Buat teman-teman yang manajemen bencana berbasis komunitasnya cukup handal, mereka sebenarnya bisa sedikit lebih awal memprediksi kemungkinan bencana. Atau kalau tidak bisa memprediksi maka mereka mampu bertindak cepat ketika bencana itu terjadi. Contohnya sekarang ini misalnya respon terhadap gempa. Sebelumnya kita harus melakukan kontrol terhadap diri kita sendiri, misalnya jika kita tinggal di daerah rawan gempa kita harus perhatikan apakah rumah kita sudah aman, jika ada goyangan sekian kita harus lari kemana. Peta-peta di tingkat komunitas itu harus sudah ditunjukkan ke arah sana bukannya ketika bencana kita harus bingung. Tapi sebelum terjadi gempa masyarakat sudah ada pilihan-pilihan tindakan ketika gempa itu terjadi. Juga ketika longsor, misalnya ketika musim hujan sudah mulai datang. Kita harus mulai berpikir sebelumnya bahwa saya harus bagaimana, kelompok rumah mana yang rentan terhadap longsor.
Menurut anda susah tidak membedakan antara situasi dimana bencana mungkin terjadi dan harus disiapkan, dengan situasi yang sebaliknya?
Sebenarnya bisa dan tidak terlalu susah, asal kita semua mau. Prinsipnya ada di sana. Misalnya saja jika terjadi longsor, untuk kawasan-kawasan yang berpotensi longsor ketika mulai musin hujan, kita sudah harus bersiap diri. Nah yang jadi masalah, bahwa kadang-kadang kita tidak mau bersiap diri padahal kita sudah tahu daerah kita berpotensi longsor. Jika kita tinggal di daerah berpotensi longsor, kita harus berpikir bahwa kita jangan membuat rumah yang bebannya tinggi. Kita harus buat yang ringan-ringan saja bahannya. Hal-hal yang seperti itu sebenarnya harus direspon karena pada dasarnya pelaksanaannya mudah, tapi karena tidak biasa jadi berat.
Yang anda katakan tadi sepertinya mudah karena itu adalah karya anda. Tapi kalau menurut saya sepertinya susah. Bagaimana kita menumbuhkan pengetahuan orang mengenai bencana? Bagaimana kita mengakses daerah-daerah yang punya potensi bencana? Bagaimana pengorganisasian, mulai dari mengumpulkan pengetahuan sampai pada penggalangan, penugasan dan mobilisasi orang?
Biasanya ada peta-peta skala besar yang dibuat oleh pemerintah. Jadi misalnya ada peta rawan bencana skala 50.000, peta kawasan gunung api dengan skala-skala besar. Peta-peta itu biasanya belum mampu diakses oleh masyarakat, baik akses pengetahuannya maupun akses untuk mendapatkan peta itu sendiri. Peta itu saya dapat dan biasanya saya hubungi masyarakat-masyarakat di lokasi itu dan mengajak mereka membangun kemampuan untuk menangani bencana-bencana ini, apakah itu longsor, banjir, gempa atau gunung meletus.
Selain itu kami juga ada usaha pelatihan bersama. Kalau wilayahnya luas, ada dua pilihan. Pertama, berlatih berkali-kali di tempat berbeda. Kedua, kita membuat semacam pelatihan untuk pelatih bagi masyarakat setempat.
Prinsipnya, sebetulnya mencoba memahami bahwa bencana itu sebenarnya sebuah kejadian rutin. Ada ancaman di satu sisi dan ada masyarakat di sisi lain. Ketika ancaman itu datang maka bencana itu terjadi. Memahami ancaman di masyarakat itu yang penting.
Jadi harus ada unsur masyarakatnya ya? Kalau gunung meletus tapi tidak ada orang itu bukan bencana ya?
Iya. Jadi harus ada masyarakat. Masyarakat yang terkena bencana itu yang harus diurusi. Setelah pemetaan ancaman dan menganalisis komponen-komponen yang mengancam, maka kemudian kita coba menganalisa, dengan adanya ancaman ini apa yang bisa kita respon seperti misalnya waktu dan tindakan apa yang bisa kita perbuat.
Apa nama lembaga yang melakukan kegiatan ini dan di lembaga mana anda terlibat? Kemudian bagaimana caranya menjadi anggota atau ikut aktif di lembaga tersebut?
Jika kelembagaannya dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), saya pernah aktif di Kapala Indonesia. Sekarang saya juga aktif di pusat studi bencana di UPN Veteran Yogyakarta.
Jadi Pak Eko ini aktif di beberapa lembaga?
Kebetulan begitu. Jadi pusat studi ini memfasilitasi teman-teman di kawasan rawan bencana atau teman-teman LSM lain yang berminat untuk bekerjasama. Misalnya membuat pelatihan-pelatihan, membuat pemetaan-pemetaan permasalahan bersama masyarakat, makanya disebut berbasis masyarakat. Sampai kapasitasnya mencukupi untuk melawan "ancaman-ancaman" yang sudah ada itu.
Memang basis kerjanya selalu community organizing dan prinsipnya kita harus dekat dengan masyarakat.
Jadi yang dimaksud Pak Eko adalah lembaga itu menjadi bagian dari kegiatan community organization, jadi bukan khusus lembaga yang menunggu bencana ya?
Oh tidak. Jadi kami merupakan lembaga yang berkawan dengan lembaga yang dekat dengan masyarakat seperti lembaga yang bergerak di pertanian, di hukum, lembaga advokasi seperti Walhi. Jadi kami mencari sela dimana saja agar bisa bertemu masyarakat, bersama mereka menganalisis masalah atau ancaman atau bahaya tadi untuk bisa diselesaikan.
Jadi ini seperti orang dilatih untuk melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan tapi tipe kecelakaannya pada masyarakat bukan individu. Mengenai bahan-bahan latihan apakah anda sudah sempat mengumpulkannya? Ada manual-nya atau bukunya? Apakah ada sosialisasi di luar kegiatan latihan itu sendiri?
Berdasarkan pengalaman kami biasanya dibukukan. Ada beberapa lembaga yang kita ajak bekerjasama seperti teman-teman di Oxfam, UNDP, lembaga donor dari Austalia dan lain-lain. Buku-buku tersebut biasanya digunakan di tempat lain yang kebetulan tidak berkesempatan bertemu dengan kami. Jadi semacam belajar dari Modul Tutorial yang di photocopy pada kasus yang sama.
Saya agak tertarik secara spesifik pada soal buku ini, karena itu diterbitkan oleh berbagai lembaga seperti Oxfam atau UNDP. Anda sendiri ikut menulis dan mempunyai hak cipta atas bahan-bahan itu? Dan jika ada yang menemui Mas Eko kemudian untuk minta bahan-bahan itu bisa tidak?
Selama buku itu ada di saya, tentu bisa saya berikan karena saya mencetaknya juga dari ongkos orang lain dan buku-buku itu tidak copy right dan public domain. Jadi silahkan saja mau diperbanyak.
Bahan tersebut apa diterbitkan juga melalui internet?
Iya. Bisa dicari di web seperti www.peduli-bencana.or.id, www.geohazard.blog.com. Jadi ada berapa website yang bisa dikunjungi untuk memperoleh bahan-bahan ini. Silahkan saja jika ingin dipakai asal sumbernya dikutip. Bukan untuk apa-apa agar kalau ada masalah, saya bisa ikut bertanggungjawab.
Saya rasa sangat perlu untuk mengetahui sumber-sumber informasi semacam ini. Karena seperti yang anda sampaikan di awal wawancara, yang penting adalah akses. Dan bahwa anda menjadikannya public domain, itu sangat bagus sehingga orang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengakses informasi tersebut.
Sekarang kalau bicara mengenai bencana yang besar seperti Aceh. Apakah ada yang bisa dilakukan secara teoritis untuk mengurangi skala penderitaan masyarakat di sana?
Ada. Saya juga sudah berbincang mengenai masalah ini dengan teman-teman dari Ashoka Fellow yang di Padang karena kemungkinan besar akan terjadi bencana di sana. Yang pertama saya sampaikan adalah pemahaman terhadap kawasan itu sebagai kawasan rawan bencana. Melalui itu maka orang akan berhati-hati dalam membuat rumah. Mau pilih yang mana, struktur kuat atau fleksibel. Sehingga orang jadi berhati-hati juga untuk mengkorupsi karena jika dikorupsi bahan bangunan maka rumah jadi hancur lebur. Yang kedua, peduli pada posisinya, itu kalau ancamannya gempa. Kalau ancamannya tsunami, maka posisi yang harus diperhatikan misalnya apakah mereka tinggal di tepi sungai atau di tepi pantai dengan ketinggian berapa. Karena posisi itu lebih rawan dan biasanya sungai itu pintu masuk dari tsunami. Jadi mengetahui posisi kita tinggal, posisi kita berkegiatan sehari-hari terhadap sumber ancaman, itu penting. Nah kita tinggal analisa sumber ancamannya, apakah itu gempa, tsunami atau banjir. Sebenarnya kalau bicara mengenai tugas pemerintah, yang paling mendasar adalah mengkampanyekan itu.
Seperti yang kita coba lakukan sekarang, mensosialisasikan topik ini. Sayangnya kita berdua bukan pemerintah. Apakah ada usaha dari pemerintah untuk mengkampanyekan kegiatan anda atau hal yang serupa?
Sebenarnya ada kementeriannya yang masuk dalam sektor energi, yaitu Direktorat Vulkanologi dan dan Mitigasi Bencana serta di Geofisika, sepertinya mereka sudah menyampaikan.
Sepertinya sektoral sekali ya? Padahal ini kan community based?
Iya, dan permasalahannya adalah pada daya baca, daya serap, daya memahami, itu yang perlu didorong dari bawah bersama-sama. Pengalaman saya di beberapa tempat, kadang-kadang di tingkat Pemda tingkat I, tingkat II, dalam pemahaman informasinya juga masih bingung. Jadi perlu dilakukan diskusi.
Sebetulnya perlu adanya kampanye sosialisasi seperti kampanye Keluarga Berencana (KB), Demam Berdarah dan sebagainya. Kira-kira jika ada kegiatan semacam itu apakah anda mempunyai kelengkapan untuk mendukung pemerintah untuk melaksanakannya?
Saya pikir saya akan sangat berterima kasih kalau pemerintah mau melakukan dan bisa kita berkolaborasi. Kebetulan juga sekarang organisasi Masyarakat Peduli Bencana sedang membuat rencana Undang-Undang. Hanya permasalahannya pekerjaan membuat rencana Undang-Undang itu suatu perkerjaan besar yang belum selesai tapi di tingkat praktek ada hal-hal yang kosong yang perlu diisi. Tapi kadang-kadang pekerjaan di tingkat praktek itu tidak menarik. Jadi kalau disebut proyek penanggulangan bencana, pra bencana, yang bentuknya pencegahan, mitigasi, itu sepertinya tidak menarik.
Karena orang pada umumnya tidak mau sedia payung sebelum hujan. Kalau kudanya sudah kabur, baru ditutup pintunya.
Mas Eko ini latar belakangnya geologi dan saya perhatikan sepertinya semua bencana memang ada urusannya dengan geologi. Apakah semua bencana ada kaitannya dengan geologi? Ada tidak bencana yang tidak ada urusannya dengan geologi?
Kebetulan memang sebagian besar kalau disebut bencana itu berurusan dengan bumi tempat kita berpijak jadi geologi. Sebenarnya ada dan sekarang ini sedang trend berkembang, yang hubungannya dengan geologi kecil, berkenaan dengan perebutan sumber daya alam. Yaitu bencana-bencana atau konflik yang terjadi karena perebutan sumber daya alam, yang terjadi karena kegagalan teknologi, lingkungan.
Apa yang anda maksud dengan perebutan sumber daya alam dalam skala yang menimbulkan bencana? Apakah maksudnya konflik, perkelahian, perang atau lebih dari itu?
Misalnya saja kasus Maluku Utara. Itu kan perebutan aset sumber daya alam, antar dua pihak yang menganggap dirinya berbeda untuk satu sumber daya alam yang sama, apakah itu tanah, apakah itu akses pada satu kegiatan dan lain-lain. Jadi adanya faktor perebutan sumber daya alam yang yang belakangan ini terjadi di Indonesia. Atau misalnya konflik antara perusahaan dengan masyarakat lokal seperti di Bulu Kumba. Hal semacam itu yang belakangan jadi bencana-bencana baru di luar atau jauh dari sisi geologi.
Anda bukan ahli geologi tapi ambil S2 masih di geologi. Sepertinya anda ngotot sekali belajar di bidang ini. Apakah kegiatan anda sekarang masih ada di bidang Geologi? Saya ingin tahu gambaran kegiatan anda sehari-hari dan keterlibatan anda dalam kegiatan ini.
Jadi kalau di LSM, saya pernah aktif di Kapala Indonesia tapi sudah pensiun. Sekarang organisasi itu menjadi perhimpunan dimana kawan-kawan tempat bersama kami berkegiatan menjadi anggotanya. Yang kedua, saya aktif di Jurusan Geologi dan Pusat Studi bencana di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Saya mengajar 2 mata kuliah utama Vulkanologi dan Manajemen Bencana Geologi. Oleh karena itu sekolahnya agak berkesinambungan terus. Saya juga aktif di Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia yang posisinya di Jakarta. Pokoknya yang berbau bencana, saya ikut saja dan kebetulan bisa masuk dalam perspektif masyarakat-masyarakat ini. Sampai sekarang juga masih ngotot. Sekarang ini saya sedang menyelesaikan S3 saya di Universitas Padjajaran di bidang studi yang agak berbau Geologi.
Ambil S3-nya di bidang studi apa?
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) untuk Manajeman Bencana Alam ke arah gunung api. Tapi pola berpikir saya begini, ilmu adalah satu sisi keping mata uang dan peran itu di sisi yang lain. Saya pikir kalau ilmu saja tapi tidak ada perannya sama juga bohong. Jadi ilmunya diisi dan perannya dimainkan juga dalam bentuk masyarakat.
Jadi Mas Eko mengajar mata kuliah Manajemen Bencana di UPN Veteran Yogyakarta. Apakah itu mata kuliah baru yang anda ciptakan atau memang ada dalam kurikulum Geologi di Indonesia?
Awalnya itu hanya hasil dari obrolan-obrolan saya dengan teman-teman mengenai bencana yang ada di negara kita. Kemudian kita berpikir kenapa tidak ada mata kuliah mengenai manajemen bencana. Lalu saya iseng-iseng membuat suatu kurikulum kemudian ditawarkan menjadi mata kuliah pilihan. Semula mahasiswanya dibawah 10 dan kalau di UPN mahasiswanya di bawah 10, dosennya tidak dapat honor ha.. ha.. ha.. Tapi ya kita tetap kuliah karena kita suka dan sekarang mahasiswanya sudah banyak sekitar 40-an.
Orang yang mengikuti kuliah itu, apakah hanya sekedar ikut kuliah saja atau kemudian mempunyai minat yang lebih luas untuk terlibat dalam kegiatan Manajemen Bencana?
Iya. Awalnya saya pikir mahasiswa yang ikut kuliah itu hanya iseng saja tapi ternyata mereka justru punya keimanan yang baik untuk mau berbeda. Karena kalau di bidang geologi biasanya yang ngetop itu geologi minyak bumi, geologi mineral atau geologi teknik yang lain yang sifatnya eksploratif. Sedangkan geologi yang sifatnya peduli terhadap bencana jarang disukai. Awalnya ketika ada 10-20 mahasiswa yang ikut mata kuliah ini, saya pikir mereka cuma iseng tapi ternyata mereka ikut Kuliah Kerja Nyata (KKN) di bidang ini juga. Artinya teman-teman, adik-adik mahasiswa juga bisa aktif sebagai alat kampanye agar manajemen bencana ini bisa disebarluaskan ke lebih banyak orang. Tidak sekedar ikut-ikutan saja.
Saya perhatikan di berita bahwa Mas Eko ini merupakan salah seorang Penerima Ashoka Fellowship. Mungkin pembaca ingin tahu juga apa itu Ashoka Fellowhsip?
Ashoka Fellow adalah lembaga nirlaba yang mendorong orang-orang punya pikiran kreatif di bidang sosial menjadi social entrepreneurs dan lebih pada dorongan-dorongan individu. Pada tahun 2000 oleh Ashoka saya dianggap mempunyai sisi kreatif yang bisa didorong sebagai social entrepreneurs. Banyak juga kawan-kawan yang lain, misalnya dalam urusan ras, konflik seperti Sofyan Tan, ada juga di urusan ekonomi rakyat seperti Muslikin di Yogya, ada juga urusan AIDS seperti Suzana Murni yang sudah meninggal. Banyak kawan-kawan yang luar biasa dan bahkan jauh lebih luar biasa dari saya yang bekerja di urusan-urusan sosial.
Untunglah tidak ada nilai untuk keluarbiasaan, jadi saya tidak tahu apa anda kurang luar biasa dari mereka. Apa kesan anda mengenai keluarbiasaan yang ada dalam masyarakat Indonesia? Karena sekarang ini dalam jaman yang lebih terbuka, kita melihat hal-hal yang baru bagi orang asing, bahwa ternyata di Indonesia ini banyak orang yang diam-diam melakukan karya.
Anda berkesan karena berada dalam transisi generasi dari yang muda sekali sampai dengan yang mapan. Sekarang ini aktivisme yang berbasis masyarakat menurut anda sesuatu yang sedang tumbuh atau bahkan terancam oleh perkembangan politik sosial?
Saya melihatnya lebih terancam. Artinya, orang lebih cenderung melihat ke hal-hal yang semakin global. Jadi ketika mereka berpikir semakin global maka banyak keputusan lebih diputuskan ke orang yang semakin kecil, artinya meninggalkan orang yang semakin banyak.
Kalau berbasis masyarakat justru konteksnya dibalik. Bagaimana keputusan-keputusan itu diambil oleh banyak orang dan hak-hak berpikir, hak-hak berpendapatan lebih banyak orang untuk berpikir positif. Jadi tidak saling memotong atau membunuh perbedaan tapi mari kita kumpulkan mana yang paling baik, untuk kita semua itu yang kita pilih. Jadi itu prinsipnya manajemen bencana berbasis masyarakat dalam konteks masyarakat pada umumnya. Karena menurut saya buruk, maka dalam konteks Indonesia barangkali kita mulai saja. Berbalik mencoba memutuskan sesuatu itu tidak diperkecil pengambillan keputusannya tetapi diperbanyak. Itu sulit, tapi barangkali itu yang paling enak untuk menghargai semua orang dan lewat menghargai semua orang maka yang berharga menjadi lebih banyak. Saya melihatnya begitu.
Terima kasih Mas Eko, kami mengundang anda untuk berbagi mengenai pikiran-pikiran anda. Sebab saya kira dari pengalaman anda, kita bisa meraih sangat banyak.
Wawancara yang menarik, bukan? Dedikasi Dr Eko Teguh Paripurno pada manajemen bencana geologi sudah tidak dipertanyakan lagi. Masih penasaran? Jika ingin tahu kesehariannya, silakan temukan Dr Eko Teguh Paripurno di Facebook. Jangan kaget jika yang diunggah adalah foto-foto makanan nikmat. Tentunya makanan/kuliner khas daerah yang dikunjunginya saat mengisi sosialisasi/seminar atau acara sejenisnya terkait manajemen bencana geologi. (WA)